Membatasi Penggunaan Hewan Uji Pada Uji Coba Kosmetik
Artikel ini telah diterbitkan pada website www.warstek.com
Kosmetik merupakan salah satu kebutuhan dan barang wajib yang digunakan dan dibawa kemana pun oleh setiap wanita. Sebelum kosmetik dijual di pasaran, dilakukan beberapa pengujian produk untuk memastikan bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk kosmetik aman dan tidak berbahaya bagi penggunanya. Kenyataan dibalik keindahan dan kenyamanan saat menggunakan kosmetik, terdapat suatu proses dimana kosmetik akan diujikan kepada hewan atau biasa disebut dengan istilah animal testing. Hewan uji yang sering digunakan dalam animal testing seperti tikus, mencit, kelinci, ikan, babi, orang utan, kucing dan anjing.
Animal research mempunyai peran yang penting dalam mengetahui dan menemukan patofisiologi atau proses terjadinya suatu penyakit, untuk mencari bagaimana reaksi makhluk hidup terhadap senyawa kimia, menemukan terapi yang berpotensi untuk suatu penyakit, serta digunakan untuk menguji kemananan dan kontrol kualitas suatu obat baru. Foundation of Biomedical Research (FBR) mengemukakan bahwa 95% hewan yang paling sering digunakan di laboratorium adalah mencit dan tikus. Alasannya adalah karena hewan pengerat memiliki sturktur gen, sistem biologis dan perilaku yang hampir mirip dengan manusia. Kemiripannya sangat besar untuk memberikan hasil yang akurat dalam hal pengujian efek obat pada tikus [1].
Sejak tahun 1959, William Russell dan Rex Burch telah mendeklarasikan panduan dalam menggunakan hewan uji sebagai subjek penelitian yakni “3Rs” yang terdiri atas reduction, replacement, dan refinement. Reduction berarti mengurangi jumlah penggunaan hewan yang digunakan dalam penelitian, replacement berarti mengganti metode penelitian yang menggunakan hewan menjadi metode yang menggunakan teknologi (bukan hewan), serta refinement berarti mengurangi insiden atau prosedur yang kejam dalam memperlakukan hewan. Namun, definisi tersebut sudah tidak digunakan karena cenderung tidak mengakui kemajuan teknologi dalam mengurangi bahkan mengganti hewan uji sebagai subjek penelitian. Menurut Clark, definisi "3Rs" yang lebih tepat untuk saat ini diantaranya reduction yang berarti menggunakan metode penelitian yang telah didesain baik dengan pembatasan hewan uji sehingga memberikan hasil yang reproducible (dapat diulang dengan hasil yang sama), replacement yang berarti mempercepat pengembangan dan penggunaan alat yang relevan untuk target berdasarkan teknologi terakhir, dan refinement yang berarti menggunakan teknologi in vivo untuk mengurangi sakit dan stress yang dialami hewan uji [2].
Jumlah hewan yang digunakan dalam uji coba kosmetik mencapai angka yang fantastis. Tahun 2016 terdapat sejumlah 3.936.723 hewan yang digunakan sebagai subjek penelitian di Inggris[3], sebanyak 26.000.000 hewan digunakan setiap tahun di Amerika Serikat [4] dan sekitar 2.000 hingga 3.000 hewan di Indonesia harus dikorbankan demi mendapatkan satu produk kosmetik yang aman [5]. Penerapan prinsip “3Rs” dalam penelitian terutama dalam uji coba kosmetik bukan lagi menjadi suatu keharusan, tetapi sebuah kebutuhan. Berbagai teknologi semakin berkembang, mulai dari bioprinting hingga kultur sel kulit manusia dengan jumlah yang sedikit dapat menghasilkan struktur kulit manusia dengan jumlah banyak sehingga dapat digunakan sebagai alternatif dari penggunaan hewan yang tidak berkemanusiaan dan mengeluarkan biaya yang besar.
Jaringan kulit manusia terekonstruksi ini dapat digunakan sebagai pengganti penggunaan kulit hewan dalam melakukan uji coba kosmetik. Selain tidak menyakiti hewan dan berpotensi melanggar hukum etik, uji coba kosmetik pada jaringan kulit manusia terekonstruksi juga dapat memberikan respon yang sama dengan jaringan kulit manusia pada umumnya sehingga peneliti dapat membuat kosmetik yang terbaik bagi pengguna kosmetik. Kulit manusia yang digunakan sebagai model ialah kulit epidermis yang melalui banyak tahapan dan sudah banyak dikembangkan oleh beberapa negara di dunia seperti EpiSkin® (L’Oréal) dan SkinEthic® (SkinEthics) dari Perancis, EpiDerm® (MatTek Corporation) dari USA, epiCS® (CellSystems) dan Phenion® (Henkel) dari Jerman, dan NeoDerm® (Tegoscience) dari Korea [6].
Jaringan kulit manusia diperoleh dari orang yang mendonasikan kulitnya karena sedang menjalani operasi payudara misalnya. Kemudian dari jaringan kulit tersebut dilakukan ekstraksi sel epidermis (pemisahan sel epidermis dari sel lainnya) dan dikembangkan dalam cawan petri. Sel tersebut dipindah ke dalam sumuran dan direndam dalam cairan yang berisi air, gula dan asam amino berwarna pink. Cairan tersebut dianalogikan sebagai darah yang memberikan nutrisi untuk sel tetap hidup. Beberapa minggu kemudian, terbentuk struktur yang menyerupai jaringan kulit dalam cawan [7]. Jaringan kulit yang sudah terbentuk sempurna dapat langsung digunakan sebagai subjek uji kosmetik baru.
Gambar 1. Langkah-langkah menumbuhkan jaringan kulit dalam cawan petri [7]
Gambar 2. Sel epidermis ditumbuhkan dalam sumuran [9]
Jaringan kulit epidermis yang terbentuk sangat mirip seperti kulit manusia yang berkembang di tubuh manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan epidermis dalam cawan yang terdiri atas empat lapisan yaitu lapisan horny, granular, spinous, dan basal. Lapisan horny merupakan lapisan paling atas dimana para peneliti akan mengaplikasikan kosmetik yang akan diuji untuk dilihat efeknya. Lapisan granular terletak dibawah lapisan horny merupakan tempat dimana lemak diproduksi. Sedangkan dibawah lapisan granular terdapat lapisan spinous yang mengandung berbagai macam lemak yang berfungsi sebagai sistem imun dan enzim. Lapisan paling bawah merupakan lapisan basal tempat terbentuknya lapisan baru yang menyusun epidermis [7].
Gambar 3. Struktur jaringan kulit epidermis manusia pada umumnya (A) dan struktur jaringan kulit epidermis manusia terekonstruksi (B) [8]
Selain kulit epidermis yang ditumbuhkan secara in vitro (diluar tubuh makhluk hidup) untuk uji coba kosmetik, L’Oréal juga mengembangkan dua model kulit lainnya yaitu jaringan kulit dermis dan dan sel kulit basal, serta satu model kornea manusia. Jaringan kulit dermis digunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme sinar matahari memberikan efek penuaan terhadap kulit manusia, sedangkan sel kulit basal yang mengandung melanin digunakan untuk mengembangkan formula kosmetik pemutih kulit dan sunscreen. Model sel kulit basal tersebut dapat terbakar jika terkena sinar ultraviolet. Sel basal juga mengandung melanin yang bertanggungjawab dalam pembentukan spot atau bercak coklat karena penuaan. Spot coklat tersebut terbentuk karena produksi melanin yang terlalu berlebih sehingga dengan adanya EpiSkin dapat membantu dalam menemukan formula kosmetik yang tepat untuk mengurangi spot tersebut. Selain itu, peneliti L’Oréal juga mengembangkan model kornea manusia untuk melihat efek suatu produk dapat menyebabkan iritasi mata atau tidak[7]. Produk yang diuji seperti obat untuk meredakan mata merah, pencuci softlens, shampoo, maskara, salep mata dan kosmetik lainnya yang berhubungan dengan mata.
Referensi
[1] FBR (Foundation for Biomedical Research). 2016. Mice and rats: the essential need for animals in medical research. Diakses dari : https://fbresearch.org/wp-content/uploads/2016/04/Mice-Rats-In-Biomedical-Research-FBR.pdf pada tanggal 5 Mei 2018.
[2] Clark, J. M. 2017. The 3Rs in research: a contemporary approach to replacement, reduction and refinement. British Journal of Nutrition, DOI: 10.1017/S0007114517002227
[3] Magee, Chris. 2017. Number of animals used in research in 2016. Diakses dari : http://www.understandinganimalresearch.org.uk/news/communications-media/number-of-animals-used-in-research-in-2016/ pada tanggal 6 Mei 2018.
[4] ProCon.org. 2017. Should animals be used for scientific or commercial testing? Diakses dari : https://animal-testing.procon.org/ pada tanggal 6 Mei 2018.
[5] Widiarini, A dan Hasibual L. 2017. 3.000 Hewan dikorbankan untuk uji coba 1 produk kosmetik. Diakses dari : https://www.viva.co.id/gaya-hidup/gaya/952748-3-000-hewan-dikorbankan-untuk-uji-coba-1-produk-kosmetik pada tanggal 6 Mei 2018.
[6] Yun, Y. E., Jung, Y. J., Choi, Y. J., Choi, J. S., & Cho, Y. W. 2018. Artificial skin models for animal-free testing. Journal of Pharmaceutical Investigation, DOI: 10.1007/s40005-018-0389-1
[7] L'oreal. 2017. A new complexion for skin science. Diakses dari : https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0262407917324934 pada tanggal 7 Mei 2018.
[8] do Nascimento Pedrosa, T., Catarino, C. M., Pennacchi, P. C., de Assis, S. R., Gimenes, F., Consolaro, M. E. L., de Moraes Barros, S. B., dan Maria-Engler, S. S. 2017. A new reconstructed human epidermis for in vitro skin irritation testing. Toxicology in Vitro, DOI: 10.1016/j.tiv.2017.03.010
[9] EpiSkin. 2018. Training and Certification. Diakses dari : http://www.episkin.com/en/Training pada tanggal 9 Mei 2018.